
SAIFUL BAHRI – Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku duduk bersila di serambi pesantren, menatap wajah teduh seorang guru yang tak pernah bosan mengulang nasihat yang sama: “Ilmu tanpa adab adalah kesia-siaan.” Kini aku sudah jauh, terjun ke dunia yang riuh dan sering kali membuat lupa pada sumber cahaya tempat aku dulu belajar menata diri. Menjadi santri bukan hanya tentang belajar kitab, menghafal, atau berjaga di malam hari demi murojaah. Menjadi santri adalah tentang membentuk hati yang sabar, lidah yang santun, dan jiwa yang tunduk kepada kebenaran.
Dari guruku, aku belajar bahwa ketinggian ilmu bukan diukur dari seberapa banyak yang kita tahu, tetapi seberapa dalam kita menghargai orang lain. Aku masih ingat bagaimana guruku selalu berjalan pelan, menundukkan pandangan, dan menegur kami dengan kelembutan yang membuat malu, bukan marah. Tak ada hukuman yang menyakitkan, hanya tatapan penuh makna yang membuat kami ingin segera memperbaiki diri.
Guruku tidak mengajarkan kami untuk sekadar pintar berbicara, tetapi agar kami mampu menjaga ucapan agar tidak menyakiti. Kini, ketika aku melihat dunia yang semakin cepat berubah, aku menyadari bahwa ajaran beliau tak pernah ketinggalan zaman. Kesabaran yang dulu kuanggap lamban, kini justru menjadi kekuatan di tengah hiruk pikuk kehidupan. Ketulusan yang dulu terasa sederhana, kini menjadi sesuatu yang langka. Aku mungkin bukan santri yang paling pandai, bukan pula yang paling taat dulu. Tapi satu hal yang selalu aku syukuri: aku pernah menjadi santrimu. Aku pernah duduk di bawah bimbinganmu, pernah ditegur karena lalai, pernah dipuji karena berusaha. Dan semua itu menjadi bagian terindah dalam perjalanan hidupku.Terima kasih, guruku. Doamu masih menjadi pelita dalam langkahku. Mungkin aku tak lagi berada di pesantren, tapi pesanmu tetap aku bawa dalam hati bahwa menjadi manusia bermanfaat adalah bentuk dzikir paling panjang.
Dan untukku, pernah menjadi santrimu saja… sudah lebih dari cukup untuk dibanggakan.
trimakasih guru