
Oleh: Saiful Bahri
Sebagai seorang ASN di Kementerian Agama Kabupaten Probolinggo, silaturahmi dengan pimpinan bukanlah hal yang asing. Namun, pertemuan saya dengan Bapak H. Moh. Sakdun, M.Pd.I (Kasubag TU Kankemenag Probolinggo) baru-baru ini menghadirkan kesan berbeda. Silaturahmi itu tidak berbicara tentang laporan kegiatan, kinerja, atau urusan administrasi kedinasan sebagaimana biasanya. Justru yang mengemuka adalah pembicaraan tentang nilai-nilai perjuangan keagamaan dan sosial, dua hal yang menjadi ruh bagi seorang aparatur Kementerian Agama. Kebetulan saat itu, hadir pula seorang pegawai lain yang tengah meminta izin kepada beliau.
Dari obrolan ringan itulah muncul pesan mendalam yang patut direnungkan oleh setiap ASN. Dengan nada tenang namun penuh makna, H. Moh. Sakdun menyampaikan, “Pegawai itu jangan kaku. Kalau sakit ya jangan masuk. Kalau ada pekerjaan yang sulit dilakukan karena suatu keadaan silakan koordinasi dengan pegawai lainnya. Allah saja memberikan Rukhsoh,” ucapnya. Kalimat itu sederhana, namun sarat makna. Dalam Islam, rukhsoh berarti keringanan atau dispensasi yang Allah berikan kepada hamba-Nya dalam situasi tertentu. Misalnya, seseorang yang sakit boleh meninggalkan puasa, atau yang dalam perjalanan boleh menjamak salatnya. Spirit rukhsoh bukan berarti kemalasan atau kelonggaran tanpa tanggung jawab, melainkan bentuk kasih sayang Allah agar manusia tetap bisa menjalankan kewajiban tanpa melampaui batas kemampuannya. Pesan itu relevan sekali dengan etika kerja ASN.
Menjadi ASN bukan hanya soal disiplin waktu dan patuh pada aturan, tetapi juga soal keseimbangan antara tugas dan kemanusiaan. ASN adalah manusia yang punya keterbatasan fisik dan psikis. Ketika kondisi tidak memungkinkan, koordinasi dan saling membantu menjadi wujud profesionalitas yang sesungguhnya. Dalam konteks yang lebih luas, apa yang disampaikan oleh H. Moh. Sakdun mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak hanya mengatur, tetapi juga memahami. Ia harus menjadi teladan yang memanusiakan bawahannya. Pemimpin yang paham makna rukhsoh akan melahirkan suasana kerja yang penuh empati, bukan tekanan.
Silaturahmi hari itu bukan sekadar pertemuan biasa. Ia menjadi pengingat bahwa dalam setiap aktivitas birokrasi, ada nilai-nilai keagamaan yang harus tetap hidup. Bahwa bekerja bukan hanya soal target dan laporan, tetapi juga tentang bagaimana menjaga niat, memahami sesama, dan meneladani sifat Allah yang penuh rahmat. Rukhsoh bukan alasan untuk bermalas-malasan, tapi bukti bahwa Islam dan semestinya birokrasi kita memberi ruang bagi kemanusiaan dalam pengabdian.